Senin, 13 Juli 2020 Selamat datang di Kota Batam.
Tidak
pernah terbayang sebelumnya bahwa saya akan menetap di kota ini,
setidaknya sampai detik ini. Dibilang berat sih tidak juga, tapi
sepertinya hati saya memang masih tertinggal di kota Jogja.
Bagaimanapun
hampir 11 tahun saya menghabiskan hidup di kota gudeg tersebut. Kalau
dihitung-hitung sih hampir setengah hidup saya (yaaa...kurang-kurang
dikit lah).
Mbolang menelusuri sudut-sudut kota sampai ke pelosok
desa, bahkan jalan kaki puluhan kilo pun pernah di lalui, jadi
anggaplah wajar jika masih belum bisa move on dari kota pelajar
tersebut.
"Gimana, betah ngga di Batam?"
"Batam itu seperti apa?"
"Eh, katanya disana barang elektronik murah-murah ya?"
"enak dong deket Singapur, bisa jalan-jalan kesana?"
Dan masih banyak lagi pertanyaan dari teman-teman, kerabat, dan sanak saudara.
Kalau
soal betah tidak betah, rasanya saya tidak memiliki rasa itu. Selagi
tempat yang ditinggali nyaman, aman, tentram dan damai, mau dimanapun
pasti betah. Apalagi saat ini saya membatasi diri dari dunia luar, tidak
terlalu suka keramaian, dan malas keluar-keluar jika memang tidak ada
keperluan yang mendesak.
Kesan pertama begitu sampai di Kota Batam?
Dari
segi bahasa biasa saja sih, saya sudah familiar dengan berbagai bahasa
daerah. Mau Melayu, Batak, Padang, Jawa, Sunda tidak ada yang asing di
telinga saya. Untuk suasana kotanya sendiri biasa saja, karena dulu suka
bolang ke berbagai kota besar, jadi ya biasa-biasa saja.
Hanya
saja sampai detik ini saya masih buta arah. Jika dulu kemana-mana
patokannya gunung merapi dan pantai selatan, saat disini tidak tahu mana
utara, mana selatan, apalagi barat dan timur. Mau kemana-mana juga
mentok ketemu laut. Haha..
Baru akhir-akhir ini saya mulai paham
jalanan yang ada di Batam. Dari tempat saya tinggal jika menuju Batam
centre, atau menuju Bandara dan pelabuhan sudah cukup paham, hafal, dan
bisa dipastikan tidak akan tersesat.
Untuk soal harga
barang-barang elektronik jujur saya tidak paham, karena saya sendiri
membeli barang elektronik masih di marketplace.
Nah, kalau harga
makanan jangan ditanya. Pertama kali jajan di luar, saya ingat sekali
waktu itu makan ayam geprek yang ada di Tiban centre, setelah selesai
makan, saat di kasir lumayan bikin syok.
"Hah, Rp. 88.000,- Mak
oiiii", saya hanya bisa garuk-garuk kepala. Memang sih makan untuk dua
orang, nasi geprek dua porsi, sayur toge 1 piring, dan teh obeng (es
teh) dua gelas.
Tapi bagi saya itu lumayan mahal, karena biasanya
makan untuk dua orang paling mahal Rp. 50.000 itupun sudah plus cemilan
dan lain-lain. Memang tidak bisa dibandingkan dengan harga di pulau
Jawa. Karena dari segi UMR saja jelas berbeda jauh. Hanya saja ini yang
membuat saya tercengang saat awal-awal di Batam.
Makin kesini, tentu saja makin tahu dong tempat makan murah, enak, porsi banyak. Hahaha..
Sebenarnya harga makanan disini tu murah-murah juga kok, cuma sayanya aja yang ga punya duit. Wkwkwkwk canda duit.
Yah
begitulah saat kesan pertama di kota ini. Saya mah nyaman-nyaman saja.
Kuncinya hanya satu, perbanyak rasa syukur, kurangi kufur. Insyaallah,
hidup sesusah apapun bakal tetap nikmat dan senang menjalaninya. Apalagi
menjalani hidupnya bersama orang yang tersayang, eaaak~~~
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisa saya, semoga ada hikmah yang bisa diambil dari tulisan saya kali ini :)
0 Comments